Suhu udara di Toboali, Bangka Selatan akhir Juli 2017
berkisar 33-34 derajat Celcius. Lumayan panas. Tapi buat para pelancong
yang suka memotret, langit cerah Toboali adalah berkah. Angkasa biru,
awan putih berarak. Kadang kumpulan awan di langit memberi bonus teduh
sebentar, Mungkin atas dasar cuaca Dinas
Pariwisata Pemuda dan Olahraga Bangka Selatan menjadikan event Toboali
City on Fire Season 2 (TCOF) jatuh pada 28-30 Juli tahun ini. Sementara
pada tahun sebelumnya, TCOF berlangsung pada bulan Oktober di tengah
anomali cuaca yang sering mengirim hujan deras di seantero Indonesia.
Kabupaten
Basel alias Bangka Selatan memang sedang bersemangat membangun sektor
pariwisata. Toboali sebagai ibu kota kecamatan menjadi episentrum
kegiatan TCOF 2 yang kini “sah” masuk dalam Kalender Event Pariwasata
Nasional oleh Kementerian Pariwisata.
TCOF
2, 2017 mengusung tema “Keragaman Budaya dan Etnis”. Tema yang pas
mengingat warga kota ini – seperti halnya di wilayah lain di
Bangka-Belitung – terdiri dari berbagai etnis. Tema keragaman itu turun
dalam 16 kegiatan yang digelar dalam tiga hari penyelenggaraan. Mulai
dari BikePacker, Fashion Carnival, Photo Competition, Mural, Festival
Tari, Festival Barongsai, sampai ritual adat Buang Jung di Pulau Lepar.
Toboali pada puncak gairahnya. Ribuan warga menyemut antusias di sekitaran Pantai Laut Nek Aji, venue
utama kegiatan. Panasnya TCOF juga merambat hingga ke seluruh Pulau
Bangka-Belitung. Banyak yang datang, entah sebagai peserta lomba,
festival, atau sekadar menjadi penonton dan melancong menikmati
keindahan destinasi alam dan budaya di seputaran Basel.
Memang, di seputaran venue
saja setidaknya ada beberapa spot bisa dinikmati. Baik untuk
kesenangan mata, atau keindahan fotografis bagi para penggemar
fotografi.
Pantai Nek Aji-Benteng Toboali
Di
Toboali ada Pantai Bhayangkara atau Laut Nek Aji. Landai, berpasir
putih, serta leluasa bagi yang ingin lari-lari. Tempat ini memang cocok
dijadikan ajang festival layang-layang. Atau sekitar 300 meter di
sebelahnya wisatawan bisa berfoto di reruntuhan Benteng Toboali.
Benteng
Toboali merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Bangunannya
terletak di bukit berketinggian 18 meter, di pinggir pantai sebelah
utara Kelurahan Tanjung Ketapang. Dari benteng yang dibangun pada tahun
1825 ini pengunjung dapat menyaksikan sebagian Pantai Nek Aji dan
beberapa bangunan tua di kota Toboali.
Para
penggemar fotografi biasanya akan menggunakan beberapa titik di benteng
sebagai objek. Misalnya di beberapa ruang terdapat akar-akar besar
dari pohon-pohon tua yang bergelayut menembus dinding.
Pantai
Nek Aji berkontur landai, berpasir putih, serta leluasa bagi yang ingin
lari-lari. Tempat ini memang cocok dijadikan ajang festival
layang-layang. (Haydr Suhardy) Ukuran benteng menurut data sekitar 54x32 meter. Di beberapa bagian, dindingnya didesain dengan ketebalan 90-120 cm.
Ada
sekitar tujuh ruang di bagian dalam benteng. Dahulu digunakan sebagai
barak prajurit, dapur, ruang administrasi, gudang makanan dan tempat
menyimpan senjata. Di tengah benteng terdapat kursi-kursi batu. Cocok
untuk tempat berbincang dan tempat para prajurit bersantap.
Lokasi
benteng dipilih oleh pemerintah kolonial agar setidaknya bisa mengawasi
kota dan perairan di sekitarnya. Semuanya tak lepas dari kepentingan
Belanda atas industri penambangan timah yang sudah berkembang sejak
pertengahan abad ke-17.
Timah di Bangka
pertama kali ditemukan di jalur penggalian Sungai Olin, Toboali pada
1709. Bangka pada masa itu masuk ke dalam wilayah Kerajaan Palembang
Darussalam.
Setelah sempat digarap oleh
kerabat raja dari Johor, Malaysia, pihak kerajaan sempat mendatangkan
para pekerja dari Tiongkok. Arus migrasi para pekerja ini semakin
banyak, menetap dan kemudian menjadi warga Toboali keturunan Tionghoa.
Timah
serta hasil perkebunan – terutama lada – membuat pemerintah kolonial
Belanda senang bercokol di Bangka. Maklumlah, negeri itu sedang
butuh-butuhnya modal untuk pembangunan pada tahun-tahun itu. Keuntungan
dari perdagangan hasil tambang dan rempah Bangka pastilah pasti tak mau
dilewatkan.
Jadi, begtulah, tanggal 2 Juli
1722 Belanda memperoleh hak istimewa untuk memonopoli perdagangan timah
dari Kerajaan Palembang. Dan Benteng Toboali sendiri antara lain
dibangun untuk keamanan jalur pengapalan serta mengawasi rawannya para
penyelundup timah serta perompak. Sementara ke dalam kota, hampir semua
area bisa terpantau dengan baik.
Pada
masa-masa itu pula kota Toboali dibagi dalam tiga klaster. Ada klaster
Eropa, klaster Cina dan klaster pribumi Melayu. Tinggalan klaster Cina
antara lain berada di Jalan RA Kartini, berbentuk Klenteng Dewi Sin Mu
serta Kampung Pecinan di ujung jalan yang sama (5 menit jalan kaki dari
benteng).
Pecinan di Toboali
Kampung
Pecinan Lama di Toboali kini terkepung tembok rumah-rumah bertingkat
tiga-empat lantai yang sebagian besar digunakan untuk “rumah” burung
walet. (Haydr Suhardy)
Pada TCOF
2, Kampung Pecinan lama menjadi pusat kegiatan lomba mural alias
melukis di dinding dengan tema oriental. Pecinan kini dihuni sekitar
20-an KK masih meninggalkan bentuk rumah masa lalu. Letaknya nyaris
terkepung tembok rumah-rumah bertingkat tiga-empat lantai yang sebagian
besar digunakan untuk “rumah” burung walet.
“Salah
satu rumah yang digunakan untuk lomba melukis di dinding itu adalah
rumah orangtua saya, warisang dari engkong,” tutur seorang perempuan
berusia 70 tahun yang dijumpai di warung kopi di Jalan Jenderal
Sudirman. “Menurut cerita papa-mama saya, zaman engkong (kakek) masih
hidup, rumah itu sering dikunjungi orang-orang Belanda, untuk
ngobrol-ngobrol sambil minum kopi. Sekarang pun rumah itu masih
ditinggali kakak saya, tetapi untuk merawatnya biayanya lumayan tinggi,”
tutur si nenek, sambil menyebutkan bahwa rumah milik orangtuanya adalah
yang terbesar dan terletak di sudut jalan.
Batu Belimbing-Pantai Batu Perahu
Batu granit berbentuk belimbing menjadi daya tarik utama Pantai Batu Belimbing di Toboali, Bangka Selatan. (Haydr Suhardy)
Masih
di sekitaran Toboali, 5 menit naik kendaraan roda dua atau roda empat,
dari Pecinan, para wisatawan dapat menikmati sore yang bagus di Batu
Belimbing. Batu granit berbentuk belimbing boleh dibilang menjadi spot favorit bagi massa TCOF 2 yang datang dari luar kota. Maklum letaknya memang tak jauh dari venue pusat kegiatan.
Pada hari-hari libur atau ada acara seperti TCOF spot ini ramai pengunjung. Itu sebab agak sulit memotret Batu Belimbing dengan “bersih” tanpa imbuhan orang-orang yang sedang selfie ataupun wefie. Jadi, pilihan terbaiknya, memotretlah pada hari kerja.
Atau, kalau tidak, ikuti jejak beberapa fotografer yang memilih memotret pada malam hari, sembari berburu milkyway. Batu granit raksasa menjadi latar depan yang dramatis berpadu dengan gugusan bintang Bima Sakti di langit.
Turun dari Batu Belimbing, kurang dari 5 menit, para pemburu gambar langit sore bisa berharap mendapat sunset di Pantai Batu Perahu dan Pantai Batu Kodok. Jaraknya cuma lima menit jalan kaki dari Batu Belimbing.
Air
laut biru bersih, pasir putih serta bebatuan raksasa di pinggir pantai
yang landai menyambut siapa saja. Pantai Batu Perahu bersisian dengan
Pantai Batu Kodok. Ada dermaga yang menjorok ke laut jika ingin
berpuas-puas menikmati suasana rembang petang.
Pantai
Batu Perahu bersisian dengan Pantai Batu Kodok. Ada dermaga yang
menjorok ke laut jika ingin berpuas-puas menikmati suasana rembang
petang. (Haydr Suhardy)
Jika
awan tak menghalangi, pemandangan terbenamnya matahari menjadi sesuatu
yang ditunggu para pelancong. Para pemotret biasanya menyiapkan tripod
dan siap membidik. Sementara penggemar kuliner bisa duduk berbincang
sambil menikmati minum kelapa muda. Resto Pondok Indah, Bintang Laut
serta beberapa warung tanpa nama pun menyajikan hidangan pantai. Dari seafood sampai otak-otak yang disajikan bersama kuah asam cenderung pedas.
Sepuluh menit dari lokasi pantai, para traveller
bisa kembali ke pusat kota. Mau bermalam, ada empat penginapan kelas
Melati di Toboali. Usai mandi, jika datang beramai-ramai, nikmatilah
kuliner mie kucai atau mie toboali dengan kuah ikan yang sedap.
Jika
kompartemen di dalam perut masih menyisakan tempat, ada juga penganan
yang harus dicoba. Namanya kue tabok. Sejatinya kita mengenal makanan
ini dengan istilah lain: martabak.
Berjalan-jalan pada malam hari di Toboali terbilang aman. Jauh dari sangkaan, warga setempat selalu senang menyapa, mengajak chit-chat yang
kadang membenamkan dalam perbincangan hangat di warung kopi. Jangan
khawatir tidak kebagian tempat berbincang. Dari empat warung kopi tiam,
setidaknya ada dua warung kopi di Jalan Jenderal Sudirman yang buka
hingga tengah malam.
Cuaca bagus, langit cerah dengan bulan sabit menyambut massa yang baru keluar menyaksikan festival band TCOF 2 di venue
Pantai Nek Aji. Para penonton yang mulai merasakan kehampaan dalam
perutnya, memarkir sepeda motor di tepi jalanan. Mereka duduk di trotoar
menikmati jajanan atau pecel lelel Warung Lamongan yang ternyata ada
juga di Toboali.
Suhu antara 24-26 derajat
Celcius pada malam akhir bulan Juli lalu. Lumayan adem, lumayan tentram
untuk kota yang baru saja “terbakar” api gairah pariwisata di TCOF 2.
(Eddy Suhardy)